Jumat, 01 November 2013

Isti’dadan..!! Siap,..Allahu Akbar!!

Sudah menjadi salah satu komitmen kami, BPU JMMI ITS, yang bergerak berdasarkan nilai-nilai syariah islam, untuk membina objek dakwah kami tidak hanya dari segi sosial saja tapi juga berusaha menanamkan nilai-nilai islam pada mereka. Tidak terkecuali pada adik-adik binaan. Salah satu bentuk penamaman nilai islam yang kami lakukan adalah memulai setiap aktivitas ABC (Aksi Belajar Ceria) - begitu kami biasanya menyebut kegiatan belajar bersama adik-adik binaan - dengan doa dan menutup kegiatan ABC tersebut juga dengan doa.

Untuk yang baru pertamakali mengajar bersama kami dalam ABC, pasti akan memjumpai hal yang unik. Setidaknya itu yang ku alami dulu. Untuk pengkondisian diawal sebelum berdoa baik saat akan memulai dan mengakhiri ABC, layaknya seorang komandan yang memberikan perintah kepada pasukannya, seorang kakak pengajar akan mengatakan “Isti’dadan!!!”, kemudian adik-adik dengan serempak akan menjawab “Siap…Alllahu Akbar!!”. Kompak sekali.

Awalnya aku sih nggak terlalu penasaran apalagi ambil pusing dengan arti dari mantra (baca:  Isti’dadan) tersebut. Tapi karena seringnya aku mengajar akhirnya rasa penasaran itu muncul juga. Sebenarnya “Isti’dadan!!!” ini artinya apa? Mau bertanya pada mas pengajar yang lain, malu. Pertanyaan yang terlalu telat untuk ditanyakan saat itu. Akhirnya aku bertanya pada mbah Google & ketemu jawabannya, nggak sia-sia disebut mbah karena tahu banyak hal. Hehe

Isti’dadan dalam bahasa indonesia berarti persiapan, jadi ketika mengatakan kata tersebut kepada adik-adik artinya kita meminta mereka untuk siap-siap, duduk manis, menghentikan segala aktifitas yang sedang dilakukan untuk fokus terlebih dahulu dengan orang yang mengucapkan kata Isti’dadan tersebut sebelum melakukan doa bersama. Sebenarnya mantra ini mirip seperti intruksi "Siap grak!!" dalam baris berbaris.

Nah sekarang sudah tahu kan apa artinya Isti’dadan? Jangan sampai kita jadi orang sering mengatakan sesuatu tapi tidak mengerti / paham apa yang kita katakan. Kalau tidak tahu jangan pernah malu untuk bertanya karena mbah Google siap membantu.

Keep Ghiroh Kawan!!!

Selasa, 01 Oktober 2013

Tentang Pelukis Senyum

PeLukis Senyum, nama mungkin yang sedikit alay di mata sebagian orang. Karena aku sering memakai ini, baik pada nama flashdisk atau username komputerku, akan menimbulkan anggapan bahwa PeLukis Senyum ini adalah salah satu nama aliasku. PeLukis Senyum ini sebenarnya bukan tentang diriku, apalagi salah satu nama aliasku tapi nama ini tentang orang lain atau lebih tepatnya tentang satu kelompok orang-orang yang lain. Mereka adalah adik-adik binaan BPU JMMI ITS. Mereka yang pertama kali ku temui sekitar 4 tahun tahun yang lalu.


Semua berawal dari ajakan seorang kakak angkatan dari jurusan elektro ITS, tempatku menimpa ilmu untuk gelar S1 ku. Mas Suwito, demikian kami biasa memanggilnya. Melalui kegiatan mentoring yang memang sudah menjadi budaya positif di ITS, beliau menawarkan pada kami (para mente-nya) untuk ikut mengajar adik-adik kecil. Cukup unik tawaran dari beliau, masih teringat jelas dalam ingatanku. Beliau bertanya pada kami pada salah satu kesempatan mentoring, apakah disini ada yang suka anak kecil? Sebuah pertanyaan yang spontan ku  jawab dengan mengajungkan tangan ke atas, tanda mengiyakan. Dan ternyata hanya akulah yang merespon positif pertanyaan yang dilontarkan kakak mentorku ini, karena sepertinya teman-temanku yang lain tidak begitu tertarik, tidak ada yang mengajukan tangan lagi selain aku. Tapi tak mengapalah, aku memang suka dengan anak kecil, dari informasi mas suwito kalau adik-adiknya rata-rata masih SD, pasti masih imut-imut dan lucu-lucunya, pikirku. Maka sore harinya aku langsung di ajak mengajar di Keputih. Mas Suwito ini ternyata adalah salah satu anggota dari BPU (Badan Pelayanan Ummat) JMMI ITS, yang memang memiliki fokusan membina masyarakat (ibu-ibu & anak-anak) disekitar kampus ITS. Selain di keputih, mereka memiliki 2 daerah binaan yang lain, Kejawan & Gebang.

Setelah muter-muter cukup lama, karena tempatnya yang memang agak blusukan, akhirnya ketemu juga tempat mengajarnya. Bukan gedung khusus, semisal sekolah atau TPA, hanya rumah seorang warga yang berbaik hati meminjamkan ruang tamunya untuk digunakan sebagai tempat belajar, tidak terlalu besar, hanya sekitar 3 x 3 meter persegi. Maka jadilah ruang tamu ini penuh sesak oleh adik-adik & kakak pengajar. Saat aku datang, kegiatan belajar sudah dimulai, aku datang terlambat gara-gara sempet tersesat tadi. Aku langsung ikut berbaur dengan mereka, berkenalan dengan beberapa kakak pengajar yang lain serta adik-adik. Kesan pertamaku saat itu jauh dari bayangan. Adik-adiknya tidak bisa diatur, ribut banget, saling bersautan laiknya nyanyian burung dipagi hari, bedanya kalau yang ini tidak bernada indah. Kalau kayak gini gimana mau belajarnya? Nggak kondusif banget!!. Dan kejadian sore itu yang membuatku agak illfil adalah ketika ada beberapa adik yang terlibat perdebatan kemudian salah satu adik perempuan, karena mungkin sudah tidak bisa menahan luapan emosinya, dengan suara lantang dan entengnya mengucapkan ucapan “bumbu pedas” khas kota Surabaya versi lengkap, bukan sekedar sapaan. Mendengar itu, bayanganku pagi hari saat mentoring tentang lucu & imutnya adik-adik seperti menguap asap dari pikiranku. Adik-adiknya nggak lucu blass,... bandel iya. Dan yang tak ku mengerti saat itu, kakak pengajar yang lain terlihat no responding, semua terasa biasa aja bagi mereka ketika mendengarkan ucapan itu dari salah satu adik binaan. Aku heran, apa aku yang terlalu berlebihan menanggapi...?? Memang perbedaan kultur daerah menjadi salah satu alasannya, bagiku yang berasal dari jawa tengah, kata-kata khas Surabaya tersebut akan terdengar sangat kasar sekali, apalagi yang mengatakannya adalah seorang adik perempuan. Maka sepulang dari tempat belajar di Keputih cukup membuatku kapok untuk mengajar lagi, adiknya nakal-nakal.

Untungnya aku masih punya alasan lain yang memaksaku untuk tetap mengajar. Saat itu, aku adalah mahasiswa baru (MaBa) - walaupun sudah 6 bulan menjalani masa study di ITS tapi predikat MaBa masih saja menempel - yang termindset untuk berbuat baik & menaruh hormat pada seniorku di elektro. Mas Suwito adalah seniorku dari elektro sehingga mindset MaBa itu diberlakukan, sungkan itu muncul setiap kali Mas Suwito mengajakku untuk mengajar lagi, sungkan untuk menolak. Ya, alasanku yang lain adalah karena aku sungkan dengan Mas Suwito. Dan kesungkananku ini berlanjut hingga aku menjalani tahun kedua di ITS, menjerumuskanku menjadi salah satu staff biro pengajaran BPU. Coba tebak kenapa aku menjadi staff biro pengajaran? Jawabannya karena saat itu Mas Suwito adalah Kabiro (Kepala Biro) pengajaran. Dengan niat yang sudah tidak lurus, maka satu tahun kepengurusan ku jalani dengan biasa-biasa, tidak ada spesial, merasa memiliki BPUpun enggak. Aku merasa jauh dari kategori staff yang diharapkan oleh BPU.Saat berakhirnya kepengurusan JMMI 1011 (tahun saat aku menjadi staff) semua tak berubah, tetap pada niat awal yang tak lurus hingga tawaran itu datang.

Saat kepengurusan baru JMMI 1112, entah apa pertimbangannya, Mas Amir selaku direktur baru BPU 1112 meminta kesediaanku untuk menjadi Kabiro pengajaran kepengurusan yang baru. Hah?? Kaget, enggak percaya, apa nggak salah pilih? Kenapa harus aku? Apa nggak ada yang lain? Inilah Tawaran yang tidak bisa langsung aku putuskan saat itu juga, kira-kira butuh waktu 3 - 5 hari untukku memikirkan lagi, menimbang dan akhirnya berujung pada satu kesimpulan. Kembali mencari niat, niat sungkanku sudah tidak berlaku lagi karena Mas Suwito ternyata sudah tidak lagi di BPU di kepengurusan 1112 jadi tidak ada lagi alasan sungkan. Melalui perenungan panjang, aku menyadari bahwa apa yang aku lakukan selama menjadi staff kurang maksimal & mungkin banyak mendholimi teman-teman BPU yang lain. Akhirnya dengan modal rasa bersalah inilah aku menerima tawaran menjadi Kabiro Pengajaran BPU 1112. Alasanku menjadi Kabiro karena ingin menebus apa yang belum aku lakukan saat menjadi staff dulu.

Sekarang aku punya niat (motivasi) baru untuk mengajar adik-adik, ada yang bisa nebak apa itu?? Ya, karena tanggungjawab, itu alasanku sekarang. Aneh rasanya kan seorang Kabiro Pengajaran tapi jarang ngajar?? Jika dulu aku hanya sekedar mengajar tanpa feel apa-apa, maka sekarang aku punya tanggungjawab & tanggungjawab ini pulalah yang mengantarkanku pada fase selanjutnya dari proses yang kujalani, yaitu fase untuk mencoba memahami mereka, adik-adik binaan BPU, karena setidaknya aku akan bertemu & berinteraksi mereka selama satu tahun kepengurusan kedepan. Benarlah kata orang bahwa proses memahami adalah proses yang tidak mudah & tidak bisa hanya dilakukan barang 1 - 2 hari saja tapi akan terus berlangsung seumur hidup sekalipun. Tidak ada yang yang namanya saling memahami dalam kasus yang aku jalani ini, karena proses untuk memahami anak kecil hanya dilakukan satu arah, tidak bisa kita menuntut mereka untuk bisa memahami kita juga, terlalu sulit, tidak masuk akal dalam bingkai kecil pemahaman mereka. Maka akulah yang harus mengalah, mencoba memahami mereka tanpa menuntut mereka untuk bisa memahamiku juga. Dan sungguh ini tidaklah mudah, karena tak jarang ketika berinteraksi dengan mereka, amarahku keluar atas ketidakmampuanku menahannya, melihat tingkah mereka yang sungguh membuatku lelah badan, pikiran dan hati, amarah itu tak terbendung. Saat aku marah, lihatlah apa respon dari mereka?? Ada yang tetap tidak menghiraukanku, acuh tak acuh, anjing menggonggong kalifah tetap berlalu. Ada yang me-respon dengan amarah yang sama atau bahkan dengan amarah yang jauh lebih besar. Dan respon terakhir, ada yang akhirnya takut denganku, memojokan diri & bersembunyi dibalik punggung temannya, menjaga jarak denganku, menatapkupun sepertinya enggan. Inilah yang membuatku sadar bahwa amarah bukanlah solusi, yang ada hanya akan menimbulkan jarak antara aku dengan mereka. Terkadang memang kita harus belajar kebenaran dari sebuah kesalahan, itu hal yang dalam sebuah proses.

Sedikit demi sedikit, dengan intensitas pertemuanku dengan meraka yang cukup sering, membuatku sedikit banyak bisa mengenal berbagai karakter mereka yang unik-unik. Hingga aku menjadi direktur BPU 1213 di tahun keempatku kuliah di ITS (dari niat awal yang nggak lurus ternyata bisa menyesatkanku selama lebih dari 3 tahun BPU, jadi hati-hatilah dengan niat ya?? Hehe...), hasil dari proses ini sungguh luar biasa kurasakan. Sekarang setiap aku bertemu dengan mereka, selalu ada senyuman yang mereka lukis untukku. Maka rasanya tak berlebihan kalau aku memberi nama mereka, para PeLukis Senyum, PeLukis yang sangat pandai melukiskan senyuman, setidaknya sebuah senyuman untukku.

Kelucuan mereka dalam presepsiku sekarang tak hanya terbatas pada wajah imut atau tampilan luar mereka saja, tapi celotehan yang dulu kuanggap nyanyian tak bernada indah, tingkah nakal yang membuatku lelah dan berbagai keunikan lain dari mereka telah menjadi sesuatu hal yang lain bagiku, karena semua itu bisa membuatku tersenyum. Jika memang ada adik-adik yang lucu secara fisik (terutama yang TK)  itu menjadi point tambah kelucuan mereka, tanpa mengurangi kelucuan yang sudah ada. Tentang amarahku, suatu kali aku mencoba untuk sedikit tegas pada mereka. Dengan sedikit meninggikan nada suara, berusaha memasang wajah serius pada mereka, meminta mereka untuk tidak rame. Berharap mereka bisa menilai kalau aku sedang marah. Tapi tahukah apa komentar mereka?? “Sampeyan lho ga bisa marah Kak… Masa orang marah koq pake senyum-senyum??” Celetuk salah seorang adik, yang hanya kutanggapi dengan tawa, malu dibilang nggak bisa marah. Ada-ada saja mereka. Ternyata mantra untuk melukis senyum mereka lebih kuat dari yang kuduga.

Kalau ditanya apa niatku sekarang saat mengajar adik-adik binaan? Aku juga bingung menjelaskannya sekarang. Tidak semua butuh penjelasan kan? Hehe… Semua alasan-alasanku yang dulu masih berlaku koq, kecuali yang alsaan sungkan karena aku sekarang nggak punya orang yang disungkani di BPU. Aku mengajar karena mereka lucu dengan segala keunikan mereka. Aku mengajar karena merasa bertanggungjawab terhadap mereka, aku menganggap mereka layaknya adik-adikku sendiri (maklum, anak bungsu,nggak punya adik). Dan yang jelas, aku mengajar karena itu menyenangkan.

Itulah ceritaku tentang PeLukis Senyum, panjang ya? Semoga tidak membuat ngantuk saat membacanya. Jika ada dari kalian yang penasaran & ingin berkenalan dengan mereka, Para PeLukis Senyum yang kumaksud, maka akan dengan senang hati kukenalkan kalian pada mereka. Tapi ada syaratnya, harus sabar, sabar yang tanpa ujung. Karena aku saja butuh waktu lebih kurang 3 tahun untuk memahami hal yang sebenarnya sangat sederhana, bahwa kebersamaanku bersama mereka adalah hal yang begitu menyenangkan. [reyzh-06]