Semua berawal
dari ajakan seorang kakak angkatan dari jurusan elektro ITS, tempatku menimpa ilmu untuk gelar S1 ku. Mas Suwito, demikian kami biasa memanggilnya. Melalui
kegiatan mentoring yang memang sudah menjadi budaya positif di ITS, beliau
menawarkan pada kami (para mente-nya) untuk ikut mengajar adik-adik
kecil. Cukup unik tawaran dari beliau, masih teringat jelas dalam ingatanku. Beliau
bertanya pada kami pada salah satu kesempatan mentoring, apakah disini ada yang
suka anak kecil? Sebuah pertanyaan yang spontan ku jawab dengan mengajungkan tangan ke atas, tanda mengiyakan. Dan
ternyata hanya akulah yang merespon positif pertanyaan yang dilontarkan
kakak mentorku ini, karena sepertinya teman-temanku yang lain tidak begitu
tertarik, tidak ada yang mengajukan tangan lagi selain aku. Tapi tak
mengapalah, aku memang suka dengan anak kecil, dari informasi mas suwito kalau adik-adiknya
rata-rata masih SD, pasti masih imut-imut dan lucu-lucunya, pikirku. Maka sore harinya aku
langsung di ajak mengajar di Keputih. Mas Suwito ini ternyata adalah salah satu
anggota dari BPU (Badan Pelayanan Ummat) JMMI ITS, yang memang memiliki fokusan
membina masyarakat (ibu-ibu & anak-anak) disekitar kampus ITS. Selain di
keputih, mereka memiliki 2 daerah binaan yang lain, Kejawan & Gebang.
Setelah
muter-muter cukup lama, karena tempatnya yang memang agak blusukan, akhirnya ketemu
juga tempat mengajarnya. Bukan gedung khusus, semisal sekolah atau TPA, hanya
rumah seorang warga yang berbaik hati meminjamkan ruang tamunya untuk digunakan sebagai tempat belajar, tidak terlalu besar, hanya sekitar 3 x 3 meter persegi. Maka
jadilah ruang tamu ini penuh sesak oleh adik-adik & kakak pengajar. Saat
aku datang, kegiatan belajar sudah dimulai, aku datang terlambat gara-gara
sempet tersesat tadi. Aku langsung ikut berbaur dengan mereka, berkenalan
dengan beberapa kakak pengajar yang lain serta adik-adik. Kesan pertamaku saat
itu jauh dari bayangan. Adik-adiknya tidak bisa diatur, ribut banget, saling bersautan
laiknya nyanyian burung dipagi hari, bedanya kalau yang ini tidak bernada indah. Kalau
kayak gini gimana mau belajarnya? Nggak kondusif banget!!. Dan kejadian sore itu yang membuatku
agak illfil adalah ketika ada beberapa adik yang terlibat perdebatan
kemudian salah satu adik perempuan, karena mungkin sudah tidak bisa menahan
luapan emosinya, dengan suara lantang dan entengnya mengucapkan ucapan “bumbu pedas”
khas kota Surabaya versi lengkap, bukan sekedar sapaan. Mendengar itu,
bayanganku pagi hari saat mentoring tentang lucu & imutnya adik-adik seperti menguap asap
dari pikiranku. Adik-adiknya nggak lucu blass,... bandel iya. Dan yang tak ku mengerti
saat itu, kakak pengajar yang lain terlihat no responding, semua terasa
biasa aja bagi mereka ketika mendengarkan ucapan itu dari salah satu adik binaan. Aku heran, apa aku
yang terlalu berlebihan menanggapi...?? Memang perbedaan kultur daerah
menjadi salah satu alasannya, bagiku yang berasal dari jawa tengah, kata-kata
khas Surabaya tersebut akan terdengar sangat kasar sekali, apalagi yang
mengatakannya adalah seorang adik perempuan. Maka sepulang dari tempat belajar
di Keputih cukup membuatku kapok untuk mengajar lagi, adiknya
nakal-nakal.
Untungnya aku
masih punya alasan lain yang memaksaku untuk tetap mengajar. Saat itu, aku
adalah mahasiswa baru (MaBa) - walaupun sudah 6 bulan menjalani masa study di ITS
tapi predikat MaBa masih saja menempel - yang termindset untuk berbuat baik
& menaruh hormat pada seniorku di elektro. Mas Suwito adalah seniorku dari elektro
sehingga mindset MaBa itu diberlakukan, sungkan itu muncul setiap kali Mas
Suwito mengajakku untuk mengajar lagi, sungkan untuk menolak. Ya, alasanku yang
lain adalah karena aku sungkan dengan Mas Suwito. Dan kesungkananku ini
berlanjut hingga aku menjalani tahun kedua di ITS, menjerumuskanku menjadi salah
satu staff biro pengajaran BPU. Coba tebak kenapa aku menjadi staff biro
pengajaran? Jawabannya karena saat itu Mas Suwito adalah Kabiro (Kepala Biro) pengajaran. Dengan niat yang sudah tidak lurus, maka satu
tahun kepengurusan ku jalani dengan biasa-biasa, tidak ada spesial, merasa memiliki BPUpun enggak. Aku merasa jauh dari kategori staff
yang diharapkan oleh BPU.Saat berakhirnya
kepengurusan JMMI 1011 (tahun saat aku menjadi staff) semua tak berubah, tetap
pada niat awal yang tak lurus hingga tawaran itu datang.
Saat kepengurusan baru JMMI 1112,
entah apa pertimbangannya, Mas Amir selaku direktur baru BPU 1112 meminta
kesediaanku untuk menjadi Kabiro pengajaran kepengurusan yang baru. Hah?? Kaget,
enggak percaya, apa nggak salah pilih? Kenapa harus aku? Apa nggak ada yang
lain? Inilah Tawaran yang tidak bisa langsung aku putuskan saat itu juga, kira-kira
butuh waktu 3 - 5 hari untukku memikirkan lagi, menimbang dan akhirnya berujung
pada satu kesimpulan. Kembali mencari niat, niat sungkanku sudah tidak berlaku
lagi karena Mas Suwito ternyata sudah tidak lagi di BPU di kepengurusan 1112
jadi tidak ada lagi alasan sungkan. Melalui perenungan panjang, aku menyadari bahwa apa yang aku lakukan
selama menjadi staff kurang maksimal & mungkin banyak mendholimi teman-teman BPU yang lain. Akhirnya dengan modal rasa bersalah inilah aku menerima tawaran menjadi
Kabiro Pengajaran BPU 1112. Alasanku menjadi Kabiro karena ingin menebus apa yang
belum aku lakukan saat menjadi staff dulu.
Sekarang aku
punya niat (motivasi) baru untuk mengajar adik-adik, ada yang bisa nebak apa itu??
Ya, karena tanggungjawab, itu alasanku sekarang. Aneh rasanya kan seorang Kabiro Pengajaran tapi
jarang ngajar?? Jika dulu aku hanya sekedar mengajar tanpa feel apa-apa,
maka sekarang aku punya tanggungjawab & tanggungjawab ini pulalah yang
mengantarkanku pada fase selanjutnya dari proses yang kujalani, yaitu fase untuk mencoba memahami mereka,
adik-adik binaan BPU, karena setidaknya aku akan bertemu & berinteraksi
mereka selama satu tahun kepengurusan kedepan. Benarlah kata orang bahwa proses
memahami adalah proses yang tidak mudah & tidak bisa hanya dilakukan barang 1 - 2
hari saja tapi akan terus berlangsung seumur hidup sekalipun. Tidak ada yang
yang namanya saling memahami dalam kasus yang aku jalani ini, karena proses untuk memahami anak kecil hanya dilakukan satu arah, tidak bisa kita menuntut mereka untuk bisa memahami kita juga, terlalu sulit, tidak masuk akal dalam bingkai kecil pemahaman mereka. Maka akulah yang harus mengalah, mencoba memahami mereka tanpa
menuntut mereka untuk bisa memahamiku juga. Dan sungguh ini tidaklah mudah, karena
tak jarang ketika berinteraksi dengan mereka, amarahku keluar atas ketidakmampuanku
menahannya, melihat tingkah mereka yang sungguh membuatku lelah badan, pikiran
dan hati, amarah itu tak terbendung. Saat aku marah, lihatlah apa respon dari mereka?? Ada yang tetap tidak
menghiraukanku, acuh tak acuh, anjing menggonggong kalifah tetap berlalu. Ada
yang me-respon dengan amarah yang sama atau bahkan dengan amarah yang jauh lebih
besar. Dan respon terakhir, ada yang akhirnya takut denganku, memojokan
diri & bersembunyi dibalik punggung temannya, menjaga jarak denganku,
menatapkupun sepertinya enggan. Inilah yang membuatku sadar bahwa amarah bukanlah solusi,
yang ada hanya akan menimbulkan jarak antara aku dengan mereka. Terkadang memang
kita harus belajar kebenaran dari sebuah kesalahan, itu hal yang dalam sebuah proses.
Sedikit demi
sedikit, dengan intensitas pertemuanku dengan meraka yang cukup sering, membuatku
sedikit banyak bisa mengenal berbagai karakter mereka yang unik-unik. Hingga aku menjadi direktur
BPU 1213 di tahun keempatku kuliah di ITS (dari niat awal yang nggak lurus
ternyata bisa menyesatkanku selama lebih dari 3 tahun BPU, jadi hati-hatilah dengan niat ya?? Hehe...), hasil dari proses ini sungguh luar biasa kurasakan. Sekarang
setiap aku bertemu dengan mereka, selalu ada senyuman yang mereka lukis
untukku. Maka rasanya tak berlebihan kalau aku memberi nama mereka, para
PeLukis Senyum, PeLukis yang sangat pandai melukiskan senyuman, setidaknya sebuah senyuman untukku.
Kelucuan mereka dalam
presepsiku sekarang tak hanya terbatas pada wajah imut atau tampilan luar
mereka saja, tapi celotehan yang dulu kuanggap nyanyian tak bernada indah,
tingkah nakal yang membuatku lelah dan berbagai keunikan lain dari mereka telah
menjadi sesuatu hal yang lain bagiku, karena semua itu bisa membuatku
tersenyum. Jika memang ada adik-adik yang lucu secara fisik (terutama yang TK) itu menjadi point tambah kelucuan mereka, tanpa mengurangi kelucuan yang sudah ada. Tentang amarahku, suatu kali aku mencoba untuk sedikit tegas pada
mereka. Dengan sedikit meninggikan nada suara, berusaha memasang wajah serius
pada mereka, meminta mereka untuk tidak rame. Berharap mereka bisa menilai kalau aku sedang marah. Tapi tahukah apa komentar mereka?? “Sampeyan
lho ga bisa marah Kak… Masa orang marah koq pake senyum-senyum??” Celetuk salah
seorang adik, yang hanya kutanggapi dengan tawa, malu dibilang nggak bisa
marah. Ada-ada saja mereka. Ternyata mantra untuk melukis senyum mereka lebih kuat dari yang kuduga.
Kalau ditanya apa
niatku sekarang saat mengajar adik-adik binaan? Aku juga bingung menjelaskannya
sekarang. Tidak semua butuh penjelasan kan? Hehe… Semua alasan-alasanku yang
dulu masih berlaku koq, kecuali yang alsaan sungkan karena aku sekarang nggak
punya orang yang disungkani di BPU. Aku mengajar karena mereka lucu dengan
segala keunikan mereka. Aku mengajar karena merasa bertanggungjawab terhadap
mereka, aku menganggap mereka layaknya adik-adikku sendiri (maklum, anak
bungsu,nggak punya adik). Dan yang jelas, aku mengajar karena itu
menyenangkan.
Itulah ceritaku
tentang PeLukis Senyum, panjang ya? Semoga tidak membuat ngantuk saat membacanya. Jika ada dari kalian yang penasaran & ingin berkenalan dengan mereka, Para
PeLukis Senyum yang kumaksud, maka akan dengan senang hati kukenalkan kalian pada mereka. Tapi ada
syaratnya, harus sabar, sabar yang tanpa ujung. Karena aku saja butuh waktu lebih kurang 3 tahun untuk
memahami hal yang sebenarnya sangat sederhana, bahwa kebersamaanku bersama mereka adalah
hal yang begitu menyenangkan. [reyzh-06]